Default

Kartika Jahja: Teriak Stop Pembajakan Mirip Ngomong Dengan Tembok!

Kartika Jahja, yang lebih dikenal dengan nama Tika, vokalis Tika and The Dissidents selain sebagai penyanyi/pencipta lagu ia juga memiliki reputasi cukup baik di dunia literasi. Ia adalah penulis lepas yang pernah mempunyai kolom mingguan di salah satu surat kabar harian berbahasa Inggris.

Karenanya tidak mengherankan ketika ia sering menyelipkan ironi yang terbilang radikal nan cerdas saat di sela-sela penampilannya di panggung. Khususnya seputar isu feminisme.

Seperti saat ia tampil Sabtu [19/3] malam pada konser 1st Anniversary LangitMusik, di Epicentrum Walk, Jakarta Selatan bersama bandnya, Tika and the Dissidents. Beberapa kali ia memberikan pernyataan-pernyataan yang menyerempet bahaya.

“Lagu [“Red Red Cabaret”] tadi buat perempuan-perempuan yang dalam hidupnya pernah merasa tidak cukup cantik. Karena saya lihat yang datang ke sini tidak ada yang tidak cantik. Jadi jangan biarkan standar itu ditentukan  oleh industri,” cetusnya.

Atau seperti saat ia menyindir soal pemikiran Sigmund Freud, “Ada satu teori Sigmund Freud, Penis Envy, yang mengatakan bahwa perempuan iri pada laki-laki karena kita tidak punya salah satu organ tubuh yang mereka miliki. Itu salah banget. We don’t need it! But sometimes we need it.”

Dengan pemikiran kritis seperti itu, beberapa orang yang sedikitnya pernah mencoba mencari tahu apa itu punk akan dengan mudah mengasosiasikan Tika dengan ideologi tersebut. Dan dengan asumsi demikian, apakah ia yang notabene pernah menggratiskan lagu-lagu di situs resmi miliknya [saat berita ini ditulis, situs itu sedang tidak aktif] juga karena berlandaskan semangat perlawanan terhadap kapitalisme yang identik dengan punk? Lantas bagaimana komentarnya mengenai para pengunduh musik ilegal?

Berikut petikan wawancara dengan Tika yang kami lakukan di belakang panggung setelah ia menyelesaikan penampilannya malam itu dengan lagu “Mayday” dari album The Headless Songstress (2009) yang menggunakan seruan Oi! Oi! Oi! a la punk rockers.

Apa komentar Anda mengenai pembajakan musik?

Pembajakan itu bukan fenomena lagi di masyarakat kita. Itu sudah menjadi suatu realita yang harus disiasati pakai akal. Jadi kalau sekarang kita teriak-teriak stop pembajakan, itu sama saja seperti kita ngomong sama tembok. Bagaimana cara kita untuk tetap hidup, anggap saja pembajakan itu sudah bagian dari penghalang yang sudah pasti kita hadapi. Jadi tinggal bagaimana kita mengakalinya.

Di website Tika dulu pernah memberikan album secara gratis. Apakah itu berarti Anda pro-piracy?

Pro-piracy sebenernya nggak. Kalau gue pro-piracy gue nggak menjual CD. Kenapa gue gratisin itu karena memang sudah nggak available lagi di market. Jadi kalau pun misalnya orang mau cari, mau beli, sudah nggak ada. Jadi album pertama gue gratisin aja. Kalau buat album kedua sih, bisa dibilang yang kita jual adalah packaging-nya untuk dikoleksi. Bukan musiknya. Musiknya sendiri bisa didapatkan di mana-mana secara gratis. Bisa dibilang kita jual merchandise berhadiah audio.

Menurut Anda masih relevan kah musisi memproduksi CD di tengah maraknya pembajakan?

Masih. Karena menurut gue kayaknya CD fisik itu… Kayak buku deh, E-Book udah ada sekarang, tapi buku yang berupa kertas dan bisa dipegang, tangible, itu beda rasanya. Masih relevan sebagai option. Karena kalau ditiadakan sama sekali jadinya nggak ada option untuk orang yang memang punya sisi melankolis dan sisi sentimentil terhadap musik. Mereka pengen punya sesuatu yang bisa dipegang dari karya orang tersebut.

Apakah Anda setuju bahwa musuh industri sekarang bukan lagi pembajak komersil tapi lebih ke penggemarnya sendiri?

Iya, benar. Gue nggak mau bilang itu sebagai musuh, ya. Pembajak komersil malah sekarang gue nggak terlalu merasa dampaknya sama sekali. Cuma, masih sering aja ada yang, ‘Mbak, gue suka banget musik lo. Kemarin gue udah download.’ [tertawa] Itu sama saja kayak, gue suka banget nih baju lo, gue nyolong kemarin di lemari lo. [tertawa] Jadinya sekarang ada batasan antara penggemar dan apresiator, menurut gue. Kalau penggemar, saat ini dia dengerin ini besok dia dengerin yang lain lagi. Dan nggak ada apresiasi. Mereka hanya fans. Tidak mengecilkan arti mereka. Karena musik juga jalan karena orang-orang seperti ini. Tapi apresiator pasti akan membeli CD asli.

Jika suatu hari DEPKOMINFO sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk memblokir link unduhan ilegal, apakah Anda mendukung?

Coba aja, menurut gue sih nggak mungkin. [tertawa] Gue nggak segitunya. Tapi kalau tadi dibilang pro-piracy juga tidak. Tapi kalau misalnya untuk menutup semua link download dan lain-lain… [jeda] Gue merasa ini sama saja seperti suatu crime, misalnya seperti merampok, ilegal. Tapi apakah kita bisa menghentikan perampokan? Jadi pada saat di sini ditutup, pasti akan ada bocor di sana, saat tutup di sini, akan ada bocor di sana… Yang tidak termonitor. Pada saat ini yang gue paling nggak suka adalah seperti salah satu website… Indie something lah… Dengan dalih dia mau mendukung musik independen, ‘silakan download di sini’. Kalau kalian mau jadi pencuri, jangan berpura-pura menjadi penggemar. Ya… Silakan saja kalau ada rencana untuk memblokir, gue rasa sih itu nggak akan terjadi. Bukannya pesimis sih.